Aku Bersembunyi
Aku memasang senyum tipis dan pandangan mata bersungguh-sungguh saat berdiskusi dengan atasanku. Ternyata sikapku itu membuat dia merasa percaya diri untuk semakin gencar memberikan instruksi-instruksi, komentar dan pertanyaan atas hal-hal yang sedang kukerjakan.
Padahal di dalam otak dan hatiku aku sedang tertawa terbahak-bahak mendengar omongannya. Karena aku tahu apa yang sedang dibualkannya itu adalah nol besar.
Aku mengambil sikap seperti itu karena aku tidak mau melukai egonya sebagai atasanku.
Aku tersenyum lebar yang menyebabkan sudut-sudut mataku agak tertarik menyipit saat seorang kawan baru melontarkan lelucon. Ternyata dia menyambut senyumku dengan tawa lebar dan wajah bahagia (sepertinya).
Padahal di dalam otak dan hatiku aku sedang mengeluh, mengapa harus aku yang tertimpa musibah harus menanggapi lelucon itu. Sebuah lelucon crunchy yang mungkin hanya cocok dilontarkan pada zaman bapak dan ibuku masih pacaran dulu.
Aku melakukan itu karena aku tidak mau melukai egonya sebagai teman.
Aku tersenyum simpul dan menanggapi pembicaraan seorang laki-laki yang aku tahu sedang menaruh hati kepadaku dengan antusias. Ternyata tanggapanku membuat dia semakin bersemangat menceritakan banyak hal yang lain.
Padahal di dalam otak dan hatiku aku sedang menimbang-nimbang untuk menghela nafas panjang dan mengusap jidatku yang cukup lebar ini. Masalahnya pembicaraan itu berlangsung dalam sebuah bahasa yang bukan bahasa ibu kami. Aku selalu kram otak setelah dengan terpaksa harus berbicara dalam bahasa itu selama berjam-jam. Tapi walaupun begitu aku tahu bahwa tata bahasanya amat sangat kacau.
Aku melakukan itu karena aku tidak mau melukai egonya sebagai laki-laki.
Aku diam merenung menghadap kaca di dalam kereta Taksaka II dalam pelarianku ke Jogja, tanpa memperdulikan teman seperjalananku. Ternyata dia pun menghormati kediamanku.
Padahal di dalam otak dan hatiku aku ingin sekali membuka pembicaraan dengannya untuk membunuh waktu 9 jam perjalanan.
Aku melakukan itu karena aku tidak mau dicap sebagai pengganggu ketenangan orang lain.
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengajukan pendapatku kepada atasanku, berdasarkan literature yang sudah kubaca. Aku tunjukkan dengan bahasa dan cara yang paling sopan, dan senyum pengalahku, bahwa apa yang disampaikannya sebelumnya cuma pepesan kosong saja.
Dan dia mendiamkanku, kemudian memberikan tumpukan pekerjaan tak masuk akal kepadaku.
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk memberikan julukan ‘old fashion’ kepada teman baruku, untuk menggantikan istilah ‘basi’ yang nyaris terlontar dari mulutku.
Teman baruku tidak apa-apa (sepertinya) walaupun sejak pertemuan pertama itu kuantitas pertemuan kami juga nggak nambah-nambah.
Sampai akhirnya aku sedikit memaksa si laki-laki itu untuk menemaniku ke QB. Dan disana secara sambil lalu aku mengajak dia untuk bergabung dalam salah satu club untuk meningkatkan kemampuan kami berbahasa asing.
Dia mengatakan bahwa tak cukup banyak waktunya. Dan sejak itu dia mulai berhenti menghubungiku. Tapi paling tidak dia masih sering mengirimkan pesan bahwa dia menyukai senyumku.
Sampai akhirnya aku menoleh ke samping kiri, dan memberikan senyumanku sambil berkata ‘Tinggal di Jogja atau di Jakarta bu?’. Dan perjalananku menjadi tidak terlalu menjemukan lagi dengan cerita-cerita tentang anak-anaknya, cucunya, selingkuhan suaminya, dan sebagainya. Aku ternyata bukan pendengar yang buruk juga.
Aku memang dianugerahi Tuhan dengan wajah diam seperti batu. Miss Jutek kata sahabat terdekatku. Karena itulah aku berusaha untuk sering tersenyum. Bukan sembarang tersenyum, tetapi tersenyum dengan mataku. Susahnya, ternyata tidak semua orang bisa membaca itu. Sehingga senyumku sering diartikan salah, demikian juga dengan kediamanku.
Hmmm… diantara diam dan tersenyum, aku lebih memilih untuk tersenyum. Sepertinya memang aku harus banyak bersembunyi di balik senyumanku dan sikap tubuh paling sempurna untuk situasi sehari-hari seperti petunjuk yang sudah kubaca di buku-buku pengembangan kepribadian.
Seandainya mereka bisa melihat arti senyum di dalam mataku, pasti mereka tidak akan terlalu sering salah menilai sikapku.
Padahal di dalam otak dan hatiku aku sedang tertawa terbahak-bahak mendengar omongannya. Karena aku tahu apa yang sedang dibualkannya itu adalah nol besar.
Aku mengambil sikap seperti itu karena aku tidak mau melukai egonya sebagai atasanku.
Aku tersenyum lebar yang menyebabkan sudut-sudut mataku agak tertarik menyipit saat seorang kawan baru melontarkan lelucon. Ternyata dia menyambut senyumku dengan tawa lebar dan wajah bahagia (sepertinya).
Padahal di dalam otak dan hatiku aku sedang mengeluh, mengapa harus aku yang tertimpa musibah harus menanggapi lelucon itu. Sebuah lelucon crunchy yang mungkin hanya cocok dilontarkan pada zaman bapak dan ibuku masih pacaran dulu.
Aku melakukan itu karena aku tidak mau melukai egonya sebagai teman.
Aku tersenyum simpul dan menanggapi pembicaraan seorang laki-laki yang aku tahu sedang menaruh hati kepadaku dengan antusias. Ternyata tanggapanku membuat dia semakin bersemangat menceritakan banyak hal yang lain.
Padahal di dalam otak dan hatiku aku sedang menimbang-nimbang untuk menghela nafas panjang dan mengusap jidatku yang cukup lebar ini. Masalahnya pembicaraan itu berlangsung dalam sebuah bahasa yang bukan bahasa ibu kami. Aku selalu kram otak setelah dengan terpaksa harus berbicara dalam bahasa itu selama berjam-jam. Tapi walaupun begitu aku tahu bahwa tata bahasanya amat sangat kacau.
Aku melakukan itu karena aku tidak mau melukai egonya sebagai laki-laki.
Aku diam merenung menghadap kaca di dalam kereta Taksaka II dalam pelarianku ke Jogja, tanpa memperdulikan teman seperjalananku. Ternyata dia pun menghormati kediamanku.
Padahal di dalam otak dan hatiku aku ingin sekali membuka pembicaraan dengannya untuk membunuh waktu 9 jam perjalanan.
Aku melakukan itu karena aku tidak mau dicap sebagai pengganggu ketenangan orang lain.
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengajukan pendapatku kepada atasanku, berdasarkan literature yang sudah kubaca. Aku tunjukkan dengan bahasa dan cara yang paling sopan, dan senyum pengalahku, bahwa apa yang disampaikannya sebelumnya cuma pepesan kosong saja.
Dan dia mendiamkanku, kemudian memberikan tumpukan pekerjaan tak masuk akal kepadaku.
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk memberikan julukan ‘old fashion’ kepada teman baruku, untuk menggantikan istilah ‘basi’ yang nyaris terlontar dari mulutku.
Teman baruku tidak apa-apa (sepertinya) walaupun sejak pertemuan pertama itu kuantitas pertemuan kami juga nggak nambah-nambah.
Sampai akhirnya aku sedikit memaksa si laki-laki itu untuk menemaniku ke QB. Dan disana secara sambil lalu aku mengajak dia untuk bergabung dalam salah satu club untuk meningkatkan kemampuan kami berbahasa asing.
Dia mengatakan bahwa tak cukup banyak waktunya. Dan sejak itu dia mulai berhenti menghubungiku. Tapi paling tidak dia masih sering mengirimkan pesan bahwa dia menyukai senyumku.
Sampai akhirnya aku menoleh ke samping kiri, dan memberikan senyumanku sambil berkata ‘Tinggal di Jogja atau di Jakarta bu?’. Dan perjalananku menjadi tidak terlalu menjemukan lagi dengan cerita-cerita tentang anak-anaknya, cucunya, selingkuhan suaminya, dan sebagainya. Aku ternyata bukan pendengar yang buruk juga.
Aku memang dianugerahi Tuhan dengan wajah diam seperti batu. Miss Jutek kata sahabat terdekatku. Karena itulah aku berusaha untuk sering tersenyum. Bukan sembarang tersenyum, tetapi tersenyum dengan mataku. Susahnya, ternyata tidak semua orang bisa membaca itu. Sehingga senyumku sering diartikan salah, demikian juga dengan kediamanku.
Hmmm… diantara diam dan tersenyum, aku lebih memilih untuk tersenyum. Sepertinya memang aku harus banyak bersembunyi di balik senyumanku dan sikap tubuh paling sempurna untuk situasi sehari-hari seperti petunjuk yang sudah kubaca di buku-buku pengembangan kepribadian.
Seandainya mereka bisa melihat arti senyum di dalam mataku, pasti mereka tidak akan terlalu sering salah menilai sikapku.
4 Comments:
Na, nggak apa2 susah senyum, diberikan pada saat yang tepat. Soalnya banyak orang yang senyum tapi tidak ikhlas. Enakan senyum itu lepas, iklas dan bebas...meski harus yakin tidak ada sayur yg nyangkut di gigi :D
Pendengar yg baik itu top bener lho :)
Doel
Mas Doel, aku lagi mengembangkan kemampuan mendengarkan dengan baik.
Kebetuluan orang2 di sekitarku termasuk kategori doyan cerita semua, aku jadi bisa sering belajar deh hehehe..
NA udah keluar dari persembunyian belom:D?
rio
Very cool design! Useful information. Go on! Games with lion witch and wardrobe minnesota laws on credit card collections Currency exchanging internet home business trading felpa fiat Business card cut line template Zocor interactions Paintball hull Cordless phone productpage vtech http://www.vardenafilonsale.info amex colorado merchant account pania rose fisher price starbright stage convertible crib Accutane attorney dallas Leather client chairs 350z car cover nissan Czesci samochodowe renault master
Post a Comment
<< Home