Curhat Part 2: After All That Matters
Setelah menjalani proses yang cukup menguras energi dan perasaan *uhuuuyyyy... :p* akhirnya sampailah saya di tempat yang (hopefuly) cukup sesuai sama bayangan tentang state of micro but essential. Sehubungan dengan pekerjaan, baru sekali ini akhirnya saya mengalami antiklimaks. Hari-hari terakhir yang saya harapkan hanya menyisakan hal-hal baik ternyata malah terjadi sebaliknya. Entahlah... saya tidak bisa menahan diri untuk tidak terprovokasi. Ndak nyangka akhirnya saya melakukan hal yang selama ini puengen buanget saya lakukan, mengucapkan hal yang puengen buanget terucap sejak lama, tapi karena ajaran unggah ungguh perempuan jawa yang selalu diajarin mami membuat saya tampil hampir tanpa memperlihatkan apa yang sesungguhnya saya rasakan di dalam.
Kehidupan sosial? Ehem ehem.. ada satu moment dimana saya amat sangat marah kepada salah seorang yang dekat dengan saya (err..am not considering this creature as a very best friend yet but yes, we certainly share lots of things). Kebiasaan jelek saya kalo kesentuh titik tertinggi kadar marah adalah, menangis *siap2 nampar orang2 yg nganggep gw nggak punya perasaan* Sejauh ini dia adalah orang keempat yang bikin saya nangis karena marah :p
Kehidupan percintaan juga ancur-ancuran. Rasanya saya nggak sanggup lagi menjalaninya. Maybe am right, maybe am wrong. Tapi saya merasa lebih baik membekukan semuanya saat ini daripada melakukan kesalahan tak termaafkan karena tidak bisa melakukan hal-hal di luar kontrol.
Well.. setelah semua yang harus terjadi, saat ini saya masih ada di sini. Masih berusaha menghilangkan kenangan buruk antiklimaks yang pernah terjadi. Masih berusaha memahami bahwa teman saya itu berusaha meminta maaf tidak dengan kata-kata tapi dengan segenap tindakan *mimpi aja kale liat dese minta maaf :p* Masih berusaha untuk memutuskan apakah saya memang menginginkan cinta-cintaan penuh bunga, ataukah cinta-cintaan jenis lain.
Saya tahu kalo hidup harus dilanjutkan ;) Kehidupan profesional saya tidak akan merana karena insiden antiklimaks. Bagaimanapun kemarahan yang pernah saya rasakan, dia tetap menjadi orang yang punya kemungkinan cukup besar untuk menjadi tetangga kamar di panti jompo nanti. Dan saya tidak akan mati hanya karena gak jelas punya pacar ato enggak :p
So, what matters to me now? *senyum rahasia penuh dusta kepada dunia mode on* :D
Kehidupan sosial? Ehem ehem.. ada satu moment dimana saya amat sangat marah kepada salah seorang yang dekat dengan saya (err..am not considering this creature as a very best friend yet but yes, we certainly share lots of things). Kebiasaan jelek saya kalo kesentuh titik tertinggi kadar marah adalah, menangis *siap2 nampar orang2 yg nganggep gw nggak punya perasaan* Sejauh ini dia adalah orang keempat yang bikin saya nangis karena marah :p
Kehidupan percintaan juga ancur-ancuran. Rasanya saya nggak sanggup lagi menjalaninya. Maybe am right, maybe am wrong. Tapi saya merasa lebih baik membekukan semuanya saat ini daripada melakukan kesalahan tak termaafkan karena tidak bisa melakukan hal-hal di luar kontrol.
Well.. setelah semua yang harus terjadi, saat ini saya masih ada di sini. Masih berusaha menghilangkan kenangan buruk antiklimaks yang pernah terjadi. Masih berusaha memahami bahwa teman saya itu berusaha meminta maaf tidak dengan kata-kata tapi dengan segenap tindakan *mimpi aja kale liat dese minta maaf :p* Masih berusaha untuk memutuskan apakah saya memang menginginkan cinta-cintaan penuh bunga, ataukah cinta-cintaan jenis lain.
Saya tahu kalo hidup harus dilanjutkan ;) Kehidupan profesional saya tidak akan merana karena insiden antiklimaks. Bagaimanapun kemarahan yang pernah saya rasakan, dia tetap menjadi orang yang punya kemungkinan cukup besar untuk menjadi tetangga kamar di panti jompo nanti. Dan saya tidak akan mati hanya karena gak jelas punya pacar ato enggak :p
So, what matters to me now? *senyum rahasia penuh dusta kepada dunia mode on* :D