Friday, May 26, 2006
Thursday, May 11, 2006
Sensual vs Elegance
Minggu lalu si sinting temen saya memulai ritual daily call dengan sebuah topic tentang pameran fotografi. Sebenernya saya sudah pernah membaca entah dimana lupa lagi, tentang pameran ini. Waktu itu sih cuma nyengir aja pas baca.
Pameran yang saya maksud adalah pameran foto terkininya dari model asli Indonesia yang pernah saya juluki ‘si pembuat sensasi’ Mbakyu Tiara Lestari.
Nggak akan ada pembahasan tentang nilai pameran itu secara artistic, secara saya tidak punya kapasitas sebagai penilai seni. Boro-boro ya… secara pengetahuan artistic dan komposisi warna saja sayah NOL BESAR. Itulah sebabnya kalo belanja sayah selalu nenteng ceu irpan kemana-mana :p
Saya hanya tergoda setelah tahu (dari temen saya itu) kalo judul pameran itu adalah: From Sensual to Elegance (please cmiiw)
Duh Mbakyu Tiara, judulmu itu membuatkyu tersenyum, nyengir, mengerutkan jidat, dan meledak!
Kerutan Jidat Jilid Satu:
Judulnya ya, From Sensual to Elegance. Kayaknya judulnya mengandung makna bahwa si obyek yang ada di dalam karya fotografi ini digambarkan sedang bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih kinclong, meaningful, daripada sebelumnya.
Hmmm… gara-gara judul itu saya kok jadi mikir ya… *sambil namparin orang2 sirik yg nganggep gw gak bisa mikir*
Kok aku nangkepnya sensual disini adalah sebuah kualitas yang lebih rendah daripada elegan ya. Jadi judulnya itu seperti bisa bermakna: dari rendah menjadi tinggi, dari jelek menjadi baik, dari itik buruk rupa menjadi angsa putih, dari comberan ke hotel bintang lima, dari nobody menjadi somebody, dsb dst..
Apakah elegan lebih baik daripada sensual?
Apakah Sensual lebih buruk daripada elegan?
Apakah menjadi sensual bermakna bukan wanita bak-baik?
Apakah menjadi elegan bermakna sebagai wanita baik-baik?
Sekali lagi kelemahanku adalah, aku bukan ahli bahasa. Boro-boro meaning dalam bahasa inggris, lha wong arti dalam bahasa Indonesia saja aku terbata-bata.
Mudah-mudahan begitu balik ke Jakarta aku bisa segera dapet kesempatan ngecek ke kamus besar bahasa Indonesia atau kamus apa ajalah yang bisa menjelaskan makna kedua kata ini.
Kerutan Jidat Jilid Dua:
Sensual.
Aku berkeyakinan bahwa sejak lahir setiap orang mempunyai potensi sensualitas masing-masing. Sensualitas adalah alamiah, sangat gender neutral. Lha sekarang ini sensualitas hampir selalu dikaitkan dengan perempuan. Perempuan sensual dianggap sundal. Laki-laki sensual? Kayaknya dibilang sexy deh
Elegan.
Sering banget baca di tabloid gossip dan majalah wanita, ada selebriti yang dapet pujian karena tampilannya yang elegan. Aku sebenernya ndak begitu mudeng (duh lagi-lagi kelemahan saya memahami dunia fashion).
Temen saya si sinting itu selalu pake analogi elegan-kampungan kalo kami mulai berdebat nggak penting soal siapa yang paling norak diantara kami berdua.
Secara dia lebih fashionista daripada sayah baiklah saya pake analogi dia saja. Kayaknya sih elegan itu adalah sesuatu yang nggak kampungan. Nggak norak. Cantik. Wangi. Berkelas. Anggun.
Kembali ke contoh kasus tabloid dan majalah, kalo aku liat-liat sih fotonya si seleb itu biasa aja. Pake tube dress juga, sama jenisnya kayak tube dress yang dipake model di tabloid aneh-aneh seribu perak itu. Cuma yang di majalah wanita dibilang elegan, yang di tabloid seribu perak dibilang abal-abal.
Sensual atau Elegan
Sensualitas dan Eleganitas *duh gw bakalan disantet ahli bahasa Indonesia dueh!*
Sepertinya sensual ataukah elegan tergantung apa isi otak yang akan melihat saja.
Kerutan Jidat Jilid Tiga:
Mind set.
Lama-lama saya merasa terganggu dengan pemakaian judul itu.
Siapa sih yang memutuskan sensual sebagai sesuatu yang lebih rendah daripada elegan?
Saya hanya berani menduga-duga saja ya.. Jangan-jangan art director ato siapapun yang memberi nama pameran foto ini adalah laki-laki ;)
Tiara lestari memang fenomena. Terlepas dari keberanian tampil di majalah pria dewasa yang dianggap nggak sesuai sama standar moral bangsa timur, sebenernya aku cukup menghormati dia. Dia berani memilih, memutuskan untuk eksis dengan caranya sendiri, lepas dari kungkungan ‘kotak perempuan baik-baik’ yang dibuat masyarakat.
Dengan memakai judul pameran itu, dia seperti menyetujui bahwa dia sedang menuju arah yang baik, dari sesuatu yang buruk yang dilakukannya di masa lalu.
Apakah tampil sensual adalah sesuatu yang buruk? Apakah menjadi sensual berarti menjadi bukan wanita baik-baik?
Saya bukan orang yang sangat open minded, sama sekali enggak. Kadang-kadang saya malah sangat puritan. Tapi menurutku, nggak ada yang salah dengan menjadi sensual. Saya khawatir, jangan-jangan kalo sensualitas dianggap sebagai sesuatu yang buruk, lama-lama menjadi perempuan jadi dilarang. Dan akhirnya memiliki tubuh perempuan akan menjadi beban berat untuk seorang manusia.
Mbakyu Tiara Lestari, mungkin lain kali kalo mau bikin performance lagi lebih baik hire art director yang lebih memahami dan menghargai sisi perempuan independent dan punya daya jual tinggi yang kamu miliki. Mereka harus bisa memaknai keperempuanan kamu.
Be feminine! ;)
Pameran yang saya maksud adalah pameran foto terkininya dari model asli Indonesia yang pernah saya juluki ‘si pembuat sensasi’ Mbakyu Tiara Lestari.
Nggak akan ada pembahasan tentang nilai pameran itu secara artistic, secara saya tidak punya kapasitas sebagai penilai seni. Boro-boro ya… secara pengetahuan artistic dan komposisi warna saja sayah NOL BESAR. Itulah sebabnya kalo belanja sayah selalu nenteng ceu irpan kemana-mana :p
Saya hanya tergoda setelah tahu (dari temen saya itu) kalo judul pameran itu adalah: From Sensual to Elegance (please cmiiw)
Duh Mbakyu Tiara, judulmu itu membuatkyu tersenyum, nyengir, mengerutkan jidat, dan meledak!
Kerutan Jidat Jilid Satu:
Judulnya ya, From Sensual to Elegance. Kayaknya judulnya mengandung makna bahwa si obyek yang ada di dalam karya fotografi ini digambarkan sedang bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih kinclong, meaningful, daripada sebelumnya.
Hmmm… gara-gara judul itu saya kok jadi mikir ya… *sambil namparin orang2 sirik yg nganggep gw gak bisa mikir*
Kok aku nangkepnya sensual disini adalah sebuah kualitas yang lebih rendah daripada elegan ya. Jadi judulnya itu seperti bisa bermakna: dari rendah menjadi tinggi, dari jelek menjadi baik, dari itik buruk rupa menjadi angsa putih, dari comberan ke hotel bintang lima, dari nobody menjadi somebody, dsb dst..
Apakah elegan lebih baik daripada sensual?
Apakah Sensual lebih buruk daripada elegan?
Apakah menjadi sensual bermakna bukan wanita bak-baik?
Apakah menjadi elegan bermakna sebagai wanita baik-baik?
Sekali lagi kelemahanku adalah, aku bukan ahli bahasa. Boro-boro meaning dalam bahasa inggris, lha wong arti dalam bahasa Indonesia saja aku terbata-bata.
Mudah-mudahan begitu balik ke Jakarta aku bisa segera dapet kesempatan ngecek ke kamus besar bahasa Indonesia atau kamus apa ajalah yang bisa menjelaskan makna kedua kata ini.
Kerutan Jidat Jilid Dua:
Sensual.
Aku berkeyakinan bahwa sejak lahir setiap orang mempunyai potensi sensualitas masing-masing. Sensualitas adalah alamiah, sangat gender neutral. Lha sekarang ini sensualitas hampir selalu dikaitkan dengan perempuan. Perempuan sensual dianggap sundal. Laki-laki sensual? Kayaknya dibilang sexy deh
Elegan.
Sering banget baca di tabloid gossip dan majalah wanita, ada selebriti yang dapet pujian karena tampilannya yang elegan. Aku sebenernya ndak begitu mudeng (duh lagi-lagi kelemahan saya memahami dunia fashion).
Temen saya si sinting itu selalu pake analogi elegan-kampungan kalo kami mulai berdebat nggak penting soal siapa yang paling norak diantara kami berdua.
Secara dia lebih fashionista daripada sayah baiklah saya pake analogi dia saja. Kayaknya sih elegan itu adalah sesuatu yang nggak kampungan. Nggak norak. Cantik. Wangi. Berkelas. Anggun.
Kembali ke contoh kasus tabloid dan majalah, kalo aku liat-liat sih fotonya si seleb itu biasa aja. Pake tube dress juga, sama jenisnya kayak tube dress yang dipake model di tabloid aneh-aneh seribu perak itu. Cuma yang di majalah wanita dibilang elegan, yang di tabloid seribu perak dibilang abal-abal.
Sensual atau Elegan
Sensualitas dan Eleganitas *duh gw bakalan disantet ahli bahasa Indonesia dueh!*
Sepertinya sensual ataukah elegan tergantung apa isi otak yang akan melihat saja.
Kerutan Jidat Jilid Tiga:
Mind set.
Lama-lama saya merasa terganggu dengan pemakaian judul itu.
Siapa sih yang memutuskan sensual sebagai sesuatu yang lebih rendah daripada elegan?
Saya hanya berani menduga-duga saja ya.. Jangan-jangan art director ato siapapun yang memberi nama pameran foto ini adalah laki-laki ;)
Tiara lestari memang fenomena. Terlepas dari keberanian tampil di majalah pria dewasa yang dianggap nggak sesuai sama standar moral bangsa timur, sebenernya aku cukup menghormati dia. Dia berani memilih, memutuskan untuk eksis dengan caranya sendiri, lepas dari kungkungan ‘kotak perempuan baik-baik’ yang dibuat masyarakat.
Dengan memakai judul pameran itu, dia seperti menyetujui bahwa dia sedang menuju arah yang baik, dari sesuatu yang buruk yang dilakukannya di masa lalu.
Apakah tampil sensual adalah sesuatu yang buruk? Apakah menjadi sensual berarti menjadi bukan wanita baik-baik?
Saya bukan orang yang sangat open minded, sama sekali enggak. Kadang-kadang saya malah sangat puritan. Tapi menurutku, nggak ada yang salah dengan menjadi sensual. Saya khawatir, jangan-jangan kalo sensualitas dianggap sebagai sesuatu yang buruk, lama-lama menjadi perempuan jadi dilarang. Dan akhirnya memiliki tubuh perempuan akan menjadi beban berat untuk seorang manusia.
Mbakyu Tiara Lestari, mungkin lain kali kalo mau bikin performance lagi lebih baik hire art director yang lebih memahami dan menghargai sisi perempuan independent dan punya daya jual tinggi yang kamu miliki. Mereka harus bisa memaknai keperempuanan kamu.
Be feminine! ;)
Friday, May 05, 2006
RICKY
Me : Kar mana Ricky, kau mau pi sekolah kah sonde? Kalau kau mau, ibu dokter mau atur supaya kau pi sekolah segera.
Him : Mana-mana sa… *senyum malu-malu*
Her : Mana bisa begitu? Kau pilih mana? Pi sekolah kah sonde..
Him : Mau sekolah..
Her : Kau pi bilang ke kau pu bapa dulu e? Dimana kau pu kampung?
Me : Kangen kau sama kau pu bapa, Ricky?
Him : Sonde..
Me : Kau pi pulang sa Ricky, sekolah di kau pu kampung..
Him : Sonde pulang!!! *mata berkaca-kaca*
Anak sekecil itu, 11 tahun, sudah 3 tahun jadi kondektur bus antara kota jurusan Kupang-SoE pp. Dia anak kedua dari 5 bersaudara. Karena kakaknya meninggal waktu bayi, Ricky jadi anak sulung di rumahnya.
Tiga setengah tahun lalu, ibunya meninggal setelah selahirkan anak kelima. Untuk Ricky kecil itu adalah pukulan yang cukup berat. Seorang anak berumur 8 tahun dengan 3 orang adik yang masih kecil-kecil, kehilangan ibunya. Prestasi belajarnya pun menurun drastis.
Nggak lama setelah ibunya meninggal bapaknya kawin lagi. In some reason perkawinan kedua ini membawa pengaruh baik untuk ketiga adik Ricky karena mereka bisa mendapatkan perawatan yang lebih baik daripada jika dititipin ke saudara atau orphanage. Sayangnya pengaruh yang sama nggak didapetin Ricky.
Mungkin karena dia sekarang adalah anak tertua, dia tidak mendapatkan cukup perhatian dari bapak dan ibu tirinya. Sampai suatu ketika kenaikan kelas, di rapornya tertulis bahwa dia tidak berhasil naik ke kelas 3 SD.
Ricky tidak pernah secara jelas menceritakan apa yang terjadi saat itu. Dari reaksinya setiap kali aku atau Julia menyebutkan atau bertanya tentang bapak, aku curiga bapaknya sempat marah dan memukul Ricky saat itu.
Yang jelas dia kabur, ikut bus jurusan ke SoE. Dia berhenti di Tuapukan, dekat daerah resettlement orang-orang ex-Timtim. Beberapa hari dia kelaparan dan nggak keurus, sampai salah seorang sopir bus accidentally menemukan dia. Si sopir jatuh ibu dan bawa Ricky ke SoE. Sejak saat itu dia menampung Ricky.
Ricky akhirnya ikut bantu-bantu jadi kondektur bus. Pertama hanya di bus yang disopiri Pak Sopir yang nampung dia. Lama-lama boss di perusahan bus itu menganggap Ricky cukup capable dan membolehkan dia ikut secara tidak resmi bekerja di perusahaan busnya. Ricky dibayar secara professional.
Setelah lebih 3 tahun nggak pernah menginjak bangku sekolah, tawaran untuk kembali memegang pensil dan buku tulis adalah sebuah tawaran yang kurang menarik buat dia. Walaupun saat ini dia bilang mau sekolah lagi, belum tentu besok dia masih berfikiran yang sama. Ricky butuh dimotivasi dengan segala cara.
Di sini, anak-anak putus sekolah seperti Ricky ada dimana-mana dengan berbagai macam alasan drop out. Mereka bekerja di perusahaan bus, toko, pasar, jualan air minum, asongan, dan macem-macem lagi. Terlalu rumit untuk mengurai masalahnya satu per satu. Tapi kalau tidak ada yang memulai sebuah langkah kecil, sesederhana apapun sebuah masalah pendidikan dasar akan selalu menjadi momok yang seperti tidak akan pernah bisa dipecahkan.
Him : Mana-mana sa… *senyum malu-malu*
Her : Mana bisa begitu? Kau pilih mana? Pi sekolah kah sonde..
Him : Mau sekolah..
Her : Kau pi bilang ke kau pu bapa dulu e? Dimana kau pu kampung?
Me : Kangen kau sama kau pu bapa, Ricky?
Him : Sonde..
Me : Kau pi pulang sa Ricky, sekolah di kau pu kampung..
Him : Sonde pulang!!! *mata berkaca-kaca*
Anak sekecil itu, 11 tahun, sudah 3 tahun jadi kondektur bus antara kota jurusan Kupang-SoE pp. Dia anak kedua dari 5 bersaudara. Karena kakaknya meninggal waktu bayi, Ricky jadi anak sulung di rumahnya.
Tiga setengah tahun lalu, ibunya meninggal setelah selahirkan anak kelima. Untuk Ricky kecil itu adalah pukulan yang cukup berat. Seorang anak berumur 8 tahun dengan 3 orang adik yang masih kecil-kecil, kehilangan ibunya. Prestasi belajarnya pun menurun drastis.
Nggak lama setelah ibunya meninggal bapaknya kawin lagi. In some reason perkawinan kedua ini membawa pengaruh baik untuk ketiga adik Ricky karena mereka bisa mendapatkan perawatan yang lebih baik daripada jika dititipin ke saudara atau orphanage. Sayangnya pengaruh yang sama nggak didapetin Ricky.
Mungkin karena dia sekarang adalah anak tertua, dia tidak mendapatkan cukup perhatian dari bapak dan ibu tirinya. Sampai suatu ketika kenaikan kelas, di rapornya tertulis bahwa dia tidak berhasil naik ke kelas 3 SD.
Ricky tidak pernah secara jelas menceritakan apa yang terjadi saat itu. Dari reaksinya setiap kali aku atau Julia menyebutkan atau bertanya tentang bapak, aku curiga bapaknya sempat marah dan memukul Ricky saat itu.
Yang jelas dia kabur, ikut bus jurusan ke SoE. Dia berhenti di Tuapukan, dekat daerah resettlement orang-orang ex-Timtim. Beberapa hari dia kelaparan dan nggak keurus, sampai salah seorang sopir bus accidentally menemukan dia. Si sopir jatuh ibu dan bawa Ricky ke SoE. Sejak saat itu dia menampung Ricky.
Ricky akhirnya ikut bantu-bantu jadi kondektur bus. Pertama hanya di bus yang disopiri Pak Sopir yang nampung dia. Lama-lama boss di perusahan bus itu menganggap Ricky cukup capable dan membolehkan dia ikut secara tidak resmi bekerja di perusahaan busnya. Ricky dibayar secara professional.
Setelah lebih 3 tahun nggak pernah menginjak bangku sekolah, tawaran untuk kembali memegang pensil dan buku tulis adalah sebuah tawaran yang kurang menarik buat dia. Walaupun saat ini dia bilang mau sekolah lagi, belum tentu besok dia masih berfikiran yang sama. Ricky butuh dimotivasi dengan segala cara.
Di sini, anak-anak putus sekolah seperti Ricky ada dimana-mana dengan berbagai macam alasan drop out. Mereka bekerja di perusahaan bus, toko, pasar, jualan air minum, asongan, dan macem-macem lagi. Terlalu rumit untuk mengurai masalahnya satu per satu. Tapi kalau tidak ada yang memulai sebuah langkah kecil, sesederhana apapun sebuah masalah pendidikan dasar akan selalu menjadi momok yang seperti tidak akan pernah bisa dipecahkan.